JANGAN ASAL MELAKUKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)

JANGAN ASAL MELAKUKAN

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)

Oleh Bernike Hangesti Hayuning G, S.H.,M.H.

Pandemi Covid -19 yang terjadi di Indonesia belakangan ini membuat dunia usaha harus beradaptasi dengan cepat agar tidak gulung tikar atau bangkrut, ditambah lagi berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia tersebut membuat para pengusaha harus berfikir cepat untuk melakukan tindakan preventif dengan berbagai cara.

Pengusaha perhotelan yang telah mengalami penurunan omset yang sangat drastis hampir mencapai 8 % sisanya sehingga para pengusaha hotel ini memutuskan membuka hotelnya sebagai sarana tempat isolasi bagi para pasien dalam pengawasan, walaupun sebenarnya akan sangat beresiko dikemudian hari, namun hal ini dilakukan demi roda perputara keuangan berputar kembali, akan tetapi ada beberapa yang terpaksa menutup hotelnya beberapa waktu hingga pandemi Covit 19 tersebut berakhir.

Beberapa Para Pengusaha melakukan lay out para pekerjanya dengan tetap memberikan gaji namun tidak penuh, atau memberikan kebijakan untuk bekerja sistem bergantian, atau melakukan efisiensi pekerja bahkan ada pula yang sudah tidak mampu bertahan dan terpaksa menutup perusahaannya.

Pemutusan hubungan kerja yang selanjutnya disingkat PHK, diharapkan sebagai tindakan terakhir dari segala penyelesaian permasalahan yang ada (pasal 151 UUK). Pengusaha diperbolehkab melakukan efisiensi pekerja apabila hal tersebut adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan perusahaannya. Akan tetapi hak-hak pekerja harus tetap dipenuhi.

Terdapat dua sumber dalam ketenagakerjaan yang wajib dipatuhi, sebagai berikut:

  1. Sumber hukum Otonom
    • Meliputi Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerjabersama atau Peraturan Perusahaan
  2. Sumber hukum heteronom
    • Meliputi hirarki perundang-undangan terkait ketenagakerjaan

Dua sumber hukum tersebut diharapkan sebagai kaidah-kaidah dan norma-norma dalam melaksanakan hubungan kerja. Para Pengusaha dan para Pekerja terikat dengan dua sumber hukum tersebut.

Pemutusan hubungan hukum sebagai langkah terakhir dalam penyelesaian permasalahan yang terjadi oleh dan diantara Pengusaha dan Pekerja. (pasal 151 UU K)

Perlu diingat kembali:

Bahwa kedudukan hukum antara Pemberi Kerja dan Pekerja adalah sejajar / sama, sehingga prinsip utama dari ketenagakerjaan adalah win-win solution atau musyawarah dan mufakat untuk memperoleh jalan keluar terbaik.

Walaupun Pandemi Covid-19 telah dinyatakan sebagai bencana nasional oleh pemerintah Indonesia namun hal tersebut tidak serta merta dapat dijadikan dasar tindakan Para Pengusaha untuk melakukan PHK.

PENGUSAHA tidak dapat berlindung dalam kondisi Force Majeure. Karena Jelas kondisi Force Majeure tidak langsung membatalkan kontrak namun sebagai bentuk negosiasi dalam pelaksanaan kontrak tersebut. Dikarenakan ketenagakerjaan juga berawal dari sebuah kontrak kerja maka hal tersebut juga berlaku untuk pelaksanaan hubungan kerja.

Force majeure / overmarcht / keadan memaksa telah diatur dalam pasal 1244 burgelijk wetbook dan pasal 1245 burgelijk wetbook. Unsur utama yang dapat menimbulkan Force Majeure  sebagai berikut:

  1. Adanya kegiatan yang tidak terduga
  2. Adanya halangan yang mengakibatkan suatu prestasi yang tidak mungkin dilaksanakan;
  3. Ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan karena kesalahan debitur
  4. Ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan resiko kepada Debitur

Unsur-unsur diatas dapat ditelaah kembali apakah kondisi Force Majeure yang dialami Pengusaha tersebut telah terpenuhi atau tidak. para ahli hukum kontrak menjelaskan jika kondisi Force Majeure terbagi menjadi dua, yanki

  • kondisi Force Majeure secara mutlak maksudnya keadaan dimana Pengusaha sudah tidak dapat melakukan tindakan pencegahan apapun, benar-benar dalam kondisi diam.
  • kondisi Force Majeure yang masih bersifat sementara maksudnya sifat melaksanakan prestasinya hanya tertunda sehingga hal tersebut memunculkan prosedur negosiasi yang dilakukan para pihak untuk mencapai kesepakatan baru.

Undang-undang 13 tahun 2003 tentang tenaga kerja telah mengatur mengenai PHK, dapat diuraikan sebagai berikut:

Jika pekerja melakukan pelanggaran Peraturan Perusahaan atau peraturan kerja bersama.

  1. Teguran lisan
  2. Surat peringatan ke -1 sampai ke-3 dengan masing-masing durasi 6 bulan
  3. Surat pemanggilan untuk bekerja apabila pekerja mangkir bekerja
  4. PHK

Jika pekerja melakukan pelanggarang berat yang memenuhi pasal 158 UUK, maka pekerja harus mengumpulkan bukti-bukti permulaan:

  1. Harus dengan bukti yang kuat
    • Tertangkap tangan
    • Pengakuan yang dibuat pekerja
  2. Dengan dua saksi
  3. Laporan kepolisian

Pekerja yang telah di PHK memiliki hak untuk memperoleh pesangon dari perusahaan, sebagai berikut:

  1. Pekerja yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama atau kontrak kerja maka sebagaimana pasal 161 ayat (3) UU Ketenagakerjaan menjelaskan “Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”,
  2. Pekerja yang terbukti melakukan pelanggarang berat mendapat uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 156 ayat (4) UUK.
  3. Pekerja yang di PHK karena adanya perubahan status perusahaan seperti terjadinya penggabungan, Peleburan perusahaan atau penggantian kepemilikan perusahaan  maka merujuk pada ketentuan pasal 163 ayat (2) maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
  4. Pekerja yang di PHK karena Perusahaan Tutup karena mengalami kerugian yang terus menerus maka sebagaimana ketentuan pasal 164 ayat 3 UU Ketenagakerjaan maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Bahwa Mahkamah Konstitusi telah melakukan uji materiil atas ketentuan pasal 164 UU Ketenagakerjaan dalam Putusan MK No. 19/PUU-IX/2011 tanggal 20 Juni 2012 menyatakan bahwa pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frase “Perusahaan tutup” tidak dimaknai perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu. Pada Frase “perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup  tidak untuk sementara waktu. Dimaksudkan bahwa pasal 164 UU Ketenagakerjaan berlaku untuk efisiensi pekerja karena Perusahaan mengalami kerugian yang terus menerus.

Hal ini juga termasuk dalam perusahaan tutup karena force majeure secara permanen maka berlaku aturan ini dan atau dapat dilakukannya diskusi / dialog dengan para pekerja untuk mencari win win solution terbaik bagi kedua belah pihak.

  1. Pekerja di PHK karena perusahaan pailit maka sebagaimana ketentuan pasal 165 UU Ketenagakerjaan maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Pengusaha dilarang melakukan PHK jika alasannya sesuai pasal 153 UUK, yakni:

  1. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
  2. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  3. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
  4. pekerja/buruh menikah;
  5. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
  6. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
  7. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  8. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
  9. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan
  10. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Uji  materiil terhadap pasal 153 ayat (1) huruf F telah di putus pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XV/2017 telah merubah beberapa frase didalam pasal 153 UU Tenaga Kerja terkait frase “kecuali diatur dalam perjanjian tenaga kerja, perjanjian kerja bersama atau Peraturan Perusahaan” dalam pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada intinya melarang Perusahaan melakukan persyaratan kontrak kerja mengenai larangan menikah dimasa kontrak berjalan atau karena ikatan dinas dilarang menikah dalam durasi waktu tertentu.

Apabila Pengusaha / Pemberi kerja memaksakan dirinya melakukan PHK dan melanggar pasal 153 UU Ketenagakerjaan maka sebagaimana pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan  menyatakan bahwa keputusan PHK yang dilakukan oleh Pengusaha / Pemerintah berakibat “batal demi hukum.” Dan secara hukum Pengusaha / Pemberi kerja wajib mempekerjakan kembali pekerja tersebut.

Proses Penyelesaian PHK didasarkan pada Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sebagai berikut :

  1. Tetap diawali dengan perundingan sebagai pemilihan utama dalam proses penyelesaian permasalahan yang terjadi antara para Pemberi Kerja dan Para Pekerja yang diwakili oleh serikat pekerja atau yang disebut Bipartit; (vide pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
  2. Apabila Bipartit tidak mampu menyelesaikannya, Para Pekerja dan atau Pengusaha dapat meminta bantuan kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat untuk melakukan pencatatan terhadap usaha Bipartit yang telah gagal, kemudian Para Pihak dapat memilih Mediator atau Konsiliasi; (vide Pasal pasal 4 ayat (1) dan (5) Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
  3. Apabila melakukan proses mediasi di Disnaker maka atas permohonan tersebut, Mediator akan melakukan pertemuan dengan para pihak kemudian membuat membuat anjuran tertulis yang tertuang dalam risalah Penyelesaian Permasalahan kepada Para Pihak; Vide pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 14 Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XIII/ 2015
  4.  Apabila melakukan proses Konsiliasi di Disnaker maka atas permohonan tersebut, disnaker melakukan konsiliasi dan mengadakan perjanjian yang akan ditandatangani para pihak namun apabila tidak mencapai kata sepakat maka konsiliator akan membuat anjuran secara tertulis dalam risalah pengelesaian masalah kepada para pihak ; Vide pasal 23 ayat (1) dan (2), pasal 24 Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XIII/ 2015
  5. Apabila ternyata dua langkah diatas juga tidak mencapai sepakat maka para pihak dapat mengajukan Perselisihan ini ke Pengadilan Hubungan Industrial yang berada pada domisili perusahaan.

Sumber :

  1. Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan;
  2. Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
  3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XIII/ 2015
  4. Putusan MK No. 19/PUU-IX/2011 tanggal 20 Juni 2012
  5. Materi oleh Dr. Andari Yurikosari, S.H.,M.H Ketua Pusat Study Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja Universitas Trisakti
  6. Materi Kebijakan Ketenagakerjaan dan Pengendalian Tenaga Kerja di JATIM oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Timur.

PEMATERAIAN DAN DAMPAK KEABSAHAN DOKUMEN

oleh Bernike Hangesi SH MH

Benarkah tanpa Materai, segala perjanjian menjadi tidak SAH?

Materai atau bea materai didalam Undang-undang No. 13 tahun 1985 tentang Bea Materai, menjelaskan didalam pasal 1 angka ke 1. Menjelaskan bahwa bea materai adalah pajak yang dikenakan kepada dokumen-dokumen dan surat-surat berharga.

Merujuk pada UU Bea Materai pada Pasal 2 menjelaskan secara terperinci, dokumen apa saja yang harus ditempel atau dikenai bea materai, sebagai berikut:

  1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
  2. akta-akta notaris termasuk salinannya;
  3. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap – rangkapnya;
  4. surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) :
1)yang menyebutkan penerimaan uang;
2)yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;
3)yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
4)yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungan;
uu Pemateraian
  • surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah);
  • efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Lalu bagaimana jika dokumen-dokumen diatas tidak dibubuhi materai didalamnya, apakah hal tersebut dapat mengakibatkan tidak sahnya dokumen perjanjian tersebut?

Sah atau tidak sahnya perjanjian tidak ditentukan oleh Materai, Jelas dalam pemaparan diatas, bahwa Materai adalah Pajak negara yang dibebankan untuk setiap dokumen dan surat berharga, yang mana aturan tarif Bea Materai ditentukan didalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang tarif Bea Materai.

Bahwa memang benar adanya sanksi apabila dokumen-dokumen dan surat-surat berharga tersebut tidak dibubuhi materai, maka sebagaimana ketentuan pasal 8 UU Pemateraian mengatur denda bea materai sebesar 200 % yang harus dibayarkan oleh pemegang dokumen dan atau surat berharga tersebut pada saat pemateraian selanjutnya dan atau disaat dokumen-dokumen dan atau surat berharga tersebut dipergunakan sebagaimana fungsinya, seperti jika dokumen –dokumen tersebut sebagai bukti didalam persidangan maka dengan demikian dokumen-dokumen yang belum dibubuhi materai sebelumnya wajib dibubuhi bersamaan dengan denda materai sebesar 200%.

Jadi Jelas dalam hal ini, materai bukan penentu sah atau tidak sahnya perjanjian. Persyaratan Sah atau tidaknya perjanjian tertuang dalam 1320 burgelijk Wetboek, yakni:

  1. sepakat
  2. kecakapan
  3. suatu hal tertentu
  4. suatu sebab yang halal

bahwa apabila suatu perjanjian didalam penyusunannya telah memenuhi empat syarat tersebut, maka perjanjian tersebut SAH dan mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian, namun apabila perjanjian tersebut hendak dijadikan bukti persidangan maka wajib dibubuhi materai yang terdahulu dengan ditambah denda pemateraian. Merujuk pada Putusan Mahkamah Agung tertanggal 13 Maret tahun 1971, no. 589 K/Sip/ 1970, berpendapat bahwa surat bukti yang tidak diberi materai tidak merupakan alat bukti.

THREESOME SEKS ADALAH KEJAHATAN

6 Fakta Bu Guru di Bali Ajak Siswa Threesome dengan Pria Beristri ...

THREESOME SEKS

By : Bernike Hangesti SH, MH

Seks merupakan warna didalam perkawinan, yang dimana suami atau istri melakukan hubungan seks untuk memperoleh keturunan. Hubungan seks selalu berkembang dan memilki banyak cara dan kreativitas agar para pelaku seks tidak bosan. Threesome seks adalah kegiatan seks yang dilakukan oleh tiga orang, bisa dengan dua laki-laki satu perempuan atau dua perempuan satu laki-laki. Threesome seks yang dilakukan didalam dan diluar perkawinan.

Threesome seks merupakan kategori eksploitasi seksual. Threesome seks tidak diperbolehkan walaupun  hal tersebut terjadi atas persetujuan bersama, dalam hal ini seorang suami yang mengajak istrinya melakukan hubungan threesome seks dapat dikenai sanksi pidana. Bahkan seseorang yang menyediakan layanan seks threesome juga dapat dijerat sanksi pidana.

Kasus-kasus Threesome seks marak terjadi, para pelaku melakukan hal tersebut dengan dasar kenikmatan dan ada juga merupakan kebutuhan ekonomi.yang senyatanya adalah kejahatan atau tindak pidana.

Seseorang suami yang meminta layanan threesome seks dan seseorang penyedia layanan seks threesome dapat di jerat dengan Pasal 2 UU RI No. 21 tahun 2007 tentang TPPO dan atau Pasal 296 KUHP dan atau Pasal 506 KUHP.

Apabila threesome seks dilakukan dengan seorang anak / yang belum dewasa atau berumur dibawah 18 tahun maka pelaku dapat dikenai pasal 17 UU RI No. 21 tahun 2007 tentang TPPO.

Korban dalam TPPO tidak dikenai pidana pasal 18 UU RI No. 21 tahun 2007 tentang TPPO.

Siapa korban dalam tindakan threesome seks, adalah orang yang secara pasif karena paksaan melakukan tindakan tersebut, biasanya adalah wanita / anak-anak atau seseorang yang tidak memiliki kuasa atas dirinya / tubuhnya.

Perempuan dan anak-anak masuk dalam katergori rentan atas kekerasan dan eksploitasi seksual. Hal ini disebabnya adanya relasi kuasa (kekuasaan yang timbul karena adanya hubungan dan ketergantungan ekonomi). Seorang istri yang diwajibkan untuk memenuhi keinginan suaminya dan memberikan kebutuhan suaminya terlebih soal seksual atau kepuasan di ranjang sehingga dikarenakan merupakan permohonan sang suami maka secara terpaksa maupun sukarela sang istri melakukan hal tersebut. Sedangkan seorang anak (seseorang yang belum berumur 18 tahun) memiliki perkembangan psikologi yang belum sempurna sehingga rasa takut dan kewajibannya untuk tunduk dan patuh terhadap perintah orang / seseorang yang telah dewasa secara terpaksa melakukan hubungan seksual.

Siapa yang dinamakan pelaku kejahatan didalam tindakan threesome, adalah seseorang yang menerima manfaat dan atau yang memberikan manfaat, suami sebagai sumber ekonomi yang secara aktif misal memesan kamar hotel, mungkin membayar makan malam dll sedangkan seseorang yang memberikan jasa threesome jelas dia menerima sejumlah uang atau layanan kenikmatan lainnya yang dapat dihitung secara materiil maka jelas dalam hal ini suami maupun seseorang penyedia jasa threesome dapat dimasukan dalam hal memberikan manfaat dan menerima manfaat.

Threesome seks adalah kejahatan..

eksekusi jaminan fidusia

kasus posisi

Ricardo (27 tahun) seorang pekerja swasta di perusahaan, membeli sepeda motor dengan cara kridit melalui multifinance dengan mekanisme leasing selama 3 tahun, Suatu hari, Ricardo merasa kebingungan, sewaktu dia mengendarai sepeda motor setelah pulang kerja tersebut ditengah jalan di stop / dihentikan oleh dua orang collector yang mengaku sebagai wakil sah dari mufinance untuk mengambil sepeda motornya tersebut,karena memang Ricardo pada tahun ke-3 telah menungunggak beberapa bulan tidak membayar angsuran kredit, tindakan yang dilakukan oleh collector tersebut sangat mengagetkan dan tidak nyaman serta Ricardo merasa nama baiknya dicemari karena pengambilan paksa terjadi tidak jauh dari tempat dia bekerja sehingga banyak rekan-rekan kerjanya mengetahui hal tersebut, namun pihak dari multifinance tersebut juga tidak pernah memberikan surat peringatan / teguran untuknya agar segera membayan ansuran kredit tersebut.

seketika itu juga, Ricardo mengajukan protes ke mufinance yang telah melakukan penarikan sepeda montor tersebut. Oleh pihak multifinance, dijelaskan bahwa pada saat memperoleh fasilitas pembiayaan, Andi sudah menanda-tangani Perjanjian Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia.

Legal Opini

Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. (UU RI No. 42 tahun 1999 (42/1999) Tentang Jaminan Fidusia)

dewasa ini, ditemukan banyak lembaga pembiayaan (finance), dan bank yang menyelenggarakan leasing pada umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia. Prinsip jaminan fidusia adalah: sepeda motor yang dibeli oleh Ricardo tersebut “diserahkan kepemilikannya” kepada multifinance. Dengan diserahkannya kepemilikan atas sepeda montor tersebut, maka Ricardo hanya bertindak selaku peminjam pakai.

atas kesepakatan bersama oleh dan diantara Ricardo dengan phak multifinance, oleh pidak multifinance tersebut menyerahkan kepemilikan sepeda motor di tuangkan dalam akta Jaminan Fidusia (dengan menggunakan kuasa untuk memfidusiakan), dan selanjutnya di daftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia dimana Ricardo berdomisili (pasal 12 UUJF jo PP No. 86 tahun 2000 tentang tata cara pendaftaran jaminan fidusia dan biaya pembuatan akta jaminan fidusia). Setelah terbit sertifikat Jaminan fidusia, maka disaat itu sepeda motor Ricardo beralih kepemilikan sementara kepada multifinance hingga pemenuhan prestasi dalam perjanjian kredit motor / leasing tersebut selesai.

apabila Ricardo diwaktu yang telah ditentukan tidak dapat melunasi kewajiban angsurannya, demi hukum pemegang sertifikat jaminan fidusia / penerima jaminan fidusia / pihak multifinance dapat melakukan penarikan dan penjualan obyek fidusia dengan cara lelang umum atau menjualnya di bawah tangan atas kesepakatan dua belah pihak untuk memperoleh harga tertinggi (pasal 29 UUJF).

Bahwa terkait tindakan pengambilan sepeda motor secara paksa ditengah jalan sebagaimana telah dilakukan oleh collector adalah kurang benar dan diduga merupakan bagian dari tindak pidana, Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. didalam Perkap tersebut sudah diatur secara gamblang bagaimana cara melakukan eksekusi jaminan fidusia tersebut, salah satunya adalah dengan cara mengirimkan surat teguran/ somasi sebanyak 2 kali secara patut kemudian mengajukan permohonan pengawasan kepada kepolisian sehingga apabila surat peringatan tersebut tidak diindahkan maka pihak kepolisianlah yang nanti akan membantu mengamankan obyek Jaminan Fidusia tersebut.Untuk pengajuan permohonan eksekusi, pihak pemohon eksekusi harus melampirkan:

(1) Salinan akta jaminan fidusia;
(2) Salinan sertifikat jaminan fidusia;
(3) Surat peringatan kepada Debitor untuk memenuhi kewajibannya, dalam hal ini telah diberikan pada Debitor sebanyak 2 kali dibuktikan dengan tanda terima;
(4) Identitas pelaksana eksekusi;
(5) Surat tugas pelaksanaan eksekusi.

jadi apabila masih ada tindakan pengambilan paksa yang dilakukan pihak mufinance tersebut melalui collectornya tanpa adanya surat peringatan maka hal tersebut merupakan wujud perbuatan melawan hukum (PMH) dan dapat segera dilakukan upaya hukum lanjutan. pada prinsipnya setiap hutang harus dibayar, namun prosedur hukum tetap harus dilaksanakan sebagaimana aturan hukum yang berlaku.

Bernike Hangesti H G, SH, MH

PROFESI TERHORMAT / ADVOKAT

ADVOKAT

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) menyatakan bahwa advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan dan berdasarkan ketentuan UU Advokat.

 Sebagai profesi terhormat / officum nobile, para advokat selalu menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan keadilan serta kepastian hukum dalam memberikan jasa hukumnya, para advokat dilindungi hukum dan memiliki hak imunitas disaat melakukan pembelaan terhadap clientnya, hak imunitas untuk tidak dilakukan gugatan perdata maupun pelaporan pidana namun sebatas dalam koridor pembelaan yang tertuang didalam surat kuasa. Ada beberapa contoh berlakunya hak imunitas advokat, yakni: Hangesti adalah advokat dalam naungan Peradi, sedang menjalankan tugas profesi advokatnya dengan memberikan bantuan jasa hukum di Pengadilan Negeri Surabaya terkait wansprestasi antara penggugat dan tergugat, disaat itu status hangesti adalah advokat dari tergugat yang didasarkan surat kuasa khusus bermaterai Rp. 6.000,- melakukan penyelesaian hukum sesuai KUHAP di Pengadilan Negeri Surabaya, berjalan dengan lancar dan profesional, namun tiba-tiba disaat acara kesimpulan, hakim mengcrosing sidang dan menanyakan kepada advokat tergugat tentang surat keterangan waris atasnama almarhum X yang diduga palsu karena ada tandatangan yang nampak berbeda dengan tandatangan di akta perjanjan kredit dan ditemukan perbedaan dengan milik Penggugat yang ternyata ada berkas setipo di beberapa sisi tandatangan, akhirnya dilaporkan dengan dugaan pasal 263 jo 55 Kuhp, dan sempat dilakukan penyidikan di kepolisian, akhirnya tuduhan kepada hangesti tidak terbukti, karena hangesti hanya menerima berkas-berkas tersebut dari clientnya dan hanya melakukan proses KUHAP untuk diajukan sebagai alat bukti di persidangan. Hal tersebut menjelaskan bahwa hak imunitas yang diberikan oleh undang-undang kepada profesi Advokat ini berlangsung selama para advokat melaksanakan tugas dan tanggungjawab sebatas surat kuasa yang diberikan kepadanya, namun apabila advokat melakukan tindakan melawan hukum dalam koridor diluar surat kuasa, maka hak imunitas tersebut tidak berlaku.

 

Kode etik advokat

Disamping itu, advokat juga terikat pada kode etik advokat, sebagaimana telah dibentuk oleh organisasi advokat Peradi, maka segala tindakan advokat yang merugikan clientnya atau orang lain dalam ranah kode etik bisa melakukan pengaduan di dewan kode etik Peradi.

Pelanggaran kode etik sebagaimana tertuang dalam pasal 6 Undang-undang Advokat adalah sebagai berikut:

  1. Mengabaikan atau menelantarkan kepentingan client
  2. Berbuat atau vertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan/ rekan seprofesi
  3. Bersikap, bertingkah laku dan bertutur kata atau mengeluarkan pernyataan yang menunjukan sikap tidak hormay terhadap hukum, peraturan atau pengadilan
  4. Berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, harkat dan martabat
  5. Melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan atau perbuatan tercela
  6. Melanggar janji advokat

Apabila terdapat tindakan-tindakan yang dilakukan advokat melanggar ketentuan diatas, maka jangan segan atau ragu untuk melaprkan advokat ini kepada dewan kehormatan advokat yang telah berdiri disetiap propinsi, dengan cara membuat nota pengaduan yang berisikan keterangan-keterangan terkait pelanggaran kode etik yang dilakukan advokat tersebut, hal ini bertujuan agar profesi advokat tetap menjadi profesi terhormat.

Terdapat 3 sanksi yang diberikan dewan kehormatan kepada advokat yang telah terbukti melakukan pelanngaran kode etik sebagai berikut:

  1. Teguran lisan
  2. Teguran tertulis
  3. Sanksi tidak diperbolehkan berperkara baik ranah litigasi maupun non litigasi hingga pemecatan sebagai orang yang berprofesi advokat selamanya.

Persidangan pelanggaran kode etik inti bersifat tertutup namun didalam pembacaan putusan majelis dewan kehormatan bersifat terbuka untuk umum, agar masyarakat mengetahui dan lebih berwaspada agar tidak memilih opnum advokat yang salah atau tidak profesional.

Dasar ketentuan proses administrasi perkara dari pengaduan s/d putusan, yakni:

  1. Undang-undang 18 tahun 2003 tentang Advokat
  2. Kode etik advokat yang di sahkan pada tanggal 23 Mei 2002 dengan perubahannya
  3. Keputusan dewan kehormatan pusat peradi No. 1 tahun 2007, tentang susunan  kedudukan dewan kehormatan PERADI
  4. Keputusan dewan kehormatan pusat peradi No. 2 tahun 2007, tentang tata cara memeriksa dan mengadili pelanggaran kode etik Indonesia
  5. Keputusan dewan kehormatan pusat peradi No. 3 tahun 2007, tentang petunjuk penanganan perkara pengaduan dewan kehormatan pusat dan daerah
  6. Keputusan dewan kehormatan pusat peradi No. 4 tahun 2007, tentang tata laksana kerja majelis kehormatan dewan kehormatan peradi

Advokat dalam tataran penegak hukum

Advokat adalah penegak hukum yang berfungsi sebagai pengawas / penyeimbang jalannya hukum, Bahwa dimana disaat kepolisian, penuntut umum dan majelis hakim secara lalai maupun sengaja tidak melakukan atau melakukan tindakan hukum diluar hukum beracara, maka disinilah tugas advokat untuk memberikan peringatan bahkan teguran, untuk tindakan yang demikian, maka advokat disebut juga sebagai pembela /penasehat hukum.

 Gambar

Oleh :

Bernike, SH

SURAT KUASA KHUSUS

SURAT KUASA

 

Yang bertanda tangan di bawah ini :

                 

Nama                : Mr. X

Pekerjaan         : Swasta

Alamat              : JL. Raya NX

 

Menerangkan dengan ini memilih tempat kediaman hukum (domisili) di Kantor Hukum “………. ASSOCIATES”, beralamat di Jalan ………….. Surabaya, dan memberi kuasa kepada Advokat/Pengacara :

 

  1. BB, SH
  2. XL, SH, MH

 

Baik bersama-sama, maupun masing-masing sendiri,

 

K H U S U S

untuk atas nama pemberi kuasa  :Untuk dan atas nama pemberi kuasa : Bertindak sebagai Pendamping/Penasehat Hukum  Pemberi Kuasa guna didengar keterangannya sebagai TERSANGKA dalam perkara dugaan tindak pidana dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak untuk kepentingan komersial suatu komputer sebagaimana dimaksud dalam pasal 72 ayat (2) dan atau pasal 72 ayat (3) Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta di POLDA JATIM.

 

Untuk itu yang diberi kuasa dikuasakan untuk menghadap instansi-instansi, jawatan-jawatan, pembesar-pembesar, pejabat-pejabat, menerima, mengajukan dan menandatangani surat-surat, permohonan-permohonan, kesimpulan-kesimpulan, mengadakan perdamaian dengan segala syarat yang dianggap baik oleh yang diberi kuasa, meminta atau memberikan semua keterangan yang diperlukan, serta dapat mengerjakan segala pekerjaan yang umumnya dapat dikerjakan oleh seorang kuasa, guna kepentingan tersebut di atas.

Surat kuasa ini diberikan dengan hak retensi, serta hak substitusi.

 

                                                                                                                                                   Surabaya,     

Penerima Kuasa                                                                                                                        Pemberi Kuasa, 

                                                                                                                                                    materai Rp. 6000,-

___________________                                                                                                         ___________________

(nama lengkap dan gelar)                                                                                                  (nama lengkap dan gelar)

 

Nb: dibuat rangkap 2, satu proses dan yang satu diberikan kepada prinsipa

jika client adalah perusahaan/ badan hukum maka wajib ditulis nama yang mewakili perusahaan siapa namanya dan didasarkan pada AD/ART .(kolom pekerjaan diganti menjadi jabatan)

PENERAPAN ASAS NEBIS IN IDEM

Penerapan Asas Nebis In Idem                                    

Bahwa menurut M. Yahya Harahap, SH dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan pengadilan halaman 439, menjelaskan Ne Bis In Idem disebut juga excpite van gewijsde zaak yang berarti bahwa sebuah perkara dengan obyek sama, yang diputus oleh pengadilan yang berkekuatan tetap / yang sudah memiliki kekuatan yang mengikat oleh badan peradilan yang berwenang.

 

Asas ne bis in idem ini berlaku secara umum untuk semua ranah hukum. Bahwa didalam hukum pidana nasional di Indonesia, asas ne bis in idem telah dirumuskan di Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yaitu seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Asas ne bis in idem ini berlaku dalam hal seseorang telah mendapat putusan bebas (vrijspraak), lepas (onstlag van alle rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling) (lihat Pasal 75 ayat [2] KUHP).

 

Selain itu, dalam ranah hukum perdata, asas ne bis in idem ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(”KUHPerdata”), apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat ne bis in idem. Oleh karena itu, terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya (dikutip dari buku “Hukum Acara Perdata”, M. Yahya Harahap, S.H., hal. 42)

 

Kemudian, dapat kita temui dalam rumusan Pasal 60 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 yaitu Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi tentang pengujian perundang-undangan, diterapkan pula asas ne bis in idem yaitu terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

 

Bahwa perlu diketahui bersama, tidak semua Putusan Pengadilan mengandung Nebis In Idem, Putusan Pengadilan yang mengandung asas Nebis In Idem adalah putusan positif sedangkan putusan yang bersifat negatif tidak melekat asas nebis in idem, seperti: gugatan mengandung cacat formil, gugatan prematur, gugatan voluntair, gugatan contentiosa yang bersifat deklaratif dan putusan hakim yang tidak berhak memutus.

 

 

Pelaksanaan asas ne bis in idem ini ditegaskan pula dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan dengan Asas Nebis In Idem, yang dalam surat edaran tersebut Ketua Mahkamah Agung pada waktu itu, Bagir Manan, mengimbau para ketua pengadilan untuk dapat melaksanakan asas ne bis in idem dengan baik dan sangat berhati-hati demi kepastian bagi pencari keadilan dengan menghindari adanya putusan yang berbeda.

 

 

Jadi, suatu gugatan dapat dinyatakan ne bis in idem dalam hal telah ada putusan berkekuatan hukum tetap sebelumnya yang memutus perkara yang sama, dengan pihak yang sama, pada waktu dan tempat kejadian yang sama (tempus dan locus delicti-nya sama) dan putusan tersebut telah memberikan putusan bebas (vrijspraak), lepas (onstlag van alle rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling) terhadap orang yang dituntut itu.

 By. B. Hangesti H G, S.H.

Dasar hukum:

1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk WetboekStaatsblad1847 No. 23);

2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);

3.      Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 yaitu Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

4.      Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2002 

 

 

Delik Aduan

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) (hal. 88) membagi delik aduan menjadi dua jenis yaitu:

  1.  Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369. Dalam hal ini maka pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi: “..saya minta agar peristiwa ini dituntut”.

Oleh karena yang dituntut itu peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut, jadi delik aduan ini tidak dapat dibelah. Contohnya, jika seorang suami jika ia telah memasukkan pengaduan terhadap perzinahan (Pasal 284) yang telah dilakukan oleh istrinya, ia tidak dapat menghendaki supaya orang laki-laki yang telah berzinah dengan istrinya itu dituntut, tetapi terhadap istrinya (karena ia masih cinta) jangan dilakukan penuntutan.

  1.  Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411. Dalam hal ini maka pengaduan itu diperlukan bukan untuk menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat dibelah. Misalnya, seorang bapa yang barang-barangnya dicuri (Pasal 362) oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dapat dituntut. Permintaan menuntut dalam pengaduannya dalam hal ini harus bersembunyi: “,,saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.

 

ketentuan waktu:

pengaduan dalam perkara-perkara pidana (delik aduan )hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia (lihat Pasal 74 ayat [1] KUHP). Dan orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 KUHP).

 

Lebih lanjut Soesilo menjelaskan bahwa terhadap pengaduan yang telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi. Khusus untuk kejahatan berzinah dalam Pasal 284, pengaduan itu dapat dicabut kembali, selama peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang pengadilan. Dalam praktiknya sebelum sidang pemeriksaan dimulai, hakim masih menanyakan kepada pengadu, apakah ia tetap pada pengaduannya itu. Bila tetap, barulah dimulai pemeriksaannya.

 

Pada intinya, terhadap pelaku delik aduan hanya bisa dilakukan proses hukum pidana atas persetujuan korbannya. Jika pengaduannya kemudian dicabut, selama dalam jangka waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan, maka proses hukum akan dihentikan. Namun, setelah melewati tiga bulan dan pengaduan itu tidak dicabut atau hendak dicabut setelah melewati waktu tiga bulan, proses hukum akan dilanjutkan. Kecuali untuk kejahatan berzinah (lihat Pasal 284 KUHP), pengaduan itu dapat dicabut kembali, selama peristiwa itu belum mulai diperiksa dalam sidang pengadilan.

 

 

Dasar hukum:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73).