JANGAN ASAL MELAKUKAN
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
Oleh Bernike Hangesti Hayuning G, S.H.,M.H.
Pandemi Covid -19 yang terjadi di Indonesia belakangan ini membuat dunia usaha harus beradaptasi dengan cepat agar tidak gulung tikar atau bangkrut, ditambah lagi berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia tersebut membuat para pengusaha harus berfikir cepat untuk melakukan tindakan preventif dengan berbagai cara.
Pengusaha perhotelan yang telah mengalami penurunan omset yang sangat drastis hampir mencapai 8 % sisanya sehingga para pengusaha hotel ini memutuskan membuka hotelnya sebagai sarana tempat isolasi bagi para pasien dalam pengawasan, walaupun sebenarnya akan sangat beresiko dikemudian hari, namun hal ini dilakukan demi roda perputara keuangan berputar kembali, akan tetapi ada beberapa yang terpaksa menutup hotelnya beberapa waktu hingga pandemi Covit 19 tersebut berakhir.
Beberapa Para Pengusaha melakukan lay out para pekerjanya dengan tetap memberikan gaji namun tidak penuh, atau memberikan kebijakan untuk bekerja sistem bergantian, atau melakukan efisiensi pekerja bahkan ada pula yang sudah tidak mampu bertahan dan terpaksa menutup perusahaannya.
Pemutusan hubungan kerja yang selanjutnya disingkat PHK, diharapkan sebagai tindakan terakhir dari segala penyelesaian permasalahan yang ada (pasal 151 UUK). Pengusaha diperbolehkab melakukan efisiensi pekerja apabila hal tersebut adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan perusahaannya. Akan tetapi hak-hak pekerja harus tetap dipenuhi.
Terdapat dua sumber dalam ketenagakerjaan yang wajib dipatuhi, sebagai berikut:
- Sumber hukum Otonom
- Meliputi Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerjabersama atau Peraturan Perusahaan
- Sumber hukum heteronom
- Meliputi hirarki perundang-undangan terkait ketenagakerjaan
Dua sumber hukum tersebut diharapkan sebagai kaidah-kaidah dan norma-norma dalam melaksanakan hubungan kerja. Para Pengusaha dan para Pekerja terikat dengan dua sumber hukum tersebut.
Pemutusan hubungan hukum sebagai langkah terakhir dalam penyelesaian permasalahan yang terjadi oleh dan diantara Pengusaha dan Pekerja. (pasal 151 UU K)
Perlu diingat kembali:
Bahwa kedudukan hukum antara Pemberi Kerja dan Pekerja adalah sejajar / sama, sehingga prinsip utama dari ketenagakerjaan adalah win-win solution atau musyawarah dan mufakat untuk memperoleh jalan keluar terbaik.
Walaupun Pandemi Covid-19 telah dinyatakan sebagai bencana nasional oleh pemerintah Indonesia namun hal tersebut tidak serta merta dapat dijadikan dasar tindakan Para Pengusaha untuk melakukan PHK.
PENGUSAHA tidak dapat berlindung dalam kondisi Force Majeure. Karena Jelas kondisi Force Majeure tidak langsung membatalkan kontrak namun sebagai bentuk negosiasi dalam pelaksanaan kontrak tersebut. Dikarenakan ketenagakerjaan juga berawal dari sebuah kontrak kerja maka hal tersebut juga berlaku untuk pelaksanaan hubungan kerja.
Force majeure / overmarcht / keadan memaksa telah diatur dalam pasal 1244 burgelijk wetbook dan pasal 1245 burgelijk wetbook. Unsur utama yang dapat menimbulkan Force Majeure sebagai berikut:
- Adanya kegiatan yang tidak terduga
- Adanya halangan yang mengakibatkan suatu prestasi yang tidak mungkin dilaksanakan;
- Ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan karena kesalahan debitur
- Ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan resiko kepada Debitur
Unsur-unsur diatas dapat ditelaah kembali apakah kondisi Force Majeure yang dialami Pengusaha tersebut telah terpenuhi atau tidak. para ahli hukum kontrak menjelaskan jika kondisi Force Majeure terbagi menjadi dua, yanki
- kondisi Force Majeure secara mutlak maksudnya keadaan dimana Pengusaha sudah tidak dapat melakukan tindakan pencegahan apapun, benar-benar dalam kondisi diam.
- kondisi Force Majeure yang masih bersifat sementara maksudnya sifat melaksanakan prestasinya hanya tertunda sehingga hal tersebut memunculkan prosedur negosiasi yang dilakukan para pihak untuk mencapai kesepakatan baru.
Undang-undang 13 tahun 2003 tentang tenaga kerja telah mengatur mengenai PHK, dapat diuraikan sebagai berikut:
Jika pekerja melakukan pelanggaran Peraturan Perusahaan atau peraturan kerja bersama.
- Teguran lisan
- Surat peringatan ke -1 sampai ke-3 dengan masing-masing durasi 6 bulan
- Surat pemanggilan untuk bekerja apabila pekerja mangkir bekerja
- PHK
Jika pekerja melakukan pelanggarang berat yang memenuhi pasal 158 UUK, maka pekerja harus mengumpulkan bukti-bukti permulaan:
- Harus dengan bukti yang kuat
- Tertangkap tangan
- Pengakuan yang dibuat pekerja
- Dengan dua saksi
- Laporan kepolisian
Pekerja yang telah di PHK memiliki hak untuk memperoleh pesangon dari perusahaan, sebagai berikut:
- Pekerja yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama atau kontrak kerja maka sebagaimana pasal 161 ayat (3) UU Ketenagakerjaan menjelaskan “Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”,
- Pekerja yang terbukti melakukan pelanggarang berat mendapat uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 156 ayat (4) UUK.
- Pekerja yang di PHK karena adanya perubahan status perusahaan seperti terjadinya penggabungan, Peleburan perusahaan atau penggantian kepemilikan perusahaan maka merujuk pada ketentuan pasal 163 ayat (2) maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
- Pekerja yang di PHK karena Perusahaan Tutup karena mengalami kerugian yang terus menerus maka sebagaimana ketentuan pasal 164 ayat 3 UU Ketenagakerjaan maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Bahwa Mahkamah Konstitusi telah melakukan uji materiil atas ketentuan pasal 164 UU Ketenagakerjaan dalam Putusan MK No. 19/PUU-IX/2011 tanggal 20 Juni 2012 menyatakan bahwa pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frase “Perusahaan tutup” tidak dimaknai perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu. Pada Frase “perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu. Dimaksudkan bahwa pasal 164 UU Ketenagakerjaan berlaku untuk efisiensi pekerja karena Perusahaan mengalami kerugian yang terus menerus.
Hal ini juga termasuk dalam perusahaan tutup karena force majeure secara permanen maka berlaku aturan ini dan atau dapat dilakukannya diskusi / dialog dengan para pekerja untuk mencari win win solution terbaik bagi kedua belah pihak.
- Pekerja di PHK karena perusahaan pailit maka sebagaimana ketentuan pasal 165 UU Ketenagakerjaan maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pengusaha dilarang melakukan PHK jika alasannya sesuai pasal 153 UUK, yakni:
- pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
- pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
- pekerja/buruh menikah;
- pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
- pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
- pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
- karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan
- pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Uji materiil terhadap pasal 153 ayat (1) huruf F telah di putus pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-XV/2017 telah merubah beberapa frase didalam pasal 153 UU Tenaga Kerja terkait frase “kecuali diatur dalam perjanjian tenaga kerja, perjanjian kerja bersama atau Peraturan Perusahaan” dalam pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada intinya melarang Perusahaan melakukan persyaratan kontrak kerja mengenai larangan menikah dimasa kontrak berjalan atau karena ikatan dinas dilarang menikah dalam durasi waktu tertentu.
Apabila Pengusaha / Pemberi kerja memaksakan dirinya melakukan PHK dan melanggar pasal 153 UU Ketenagakerjaan maka sebagaimana pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa keputusan PHK yang dilakukan oleh Pengusaha / Pemerintah berakibat “batal demi hukum.” Dan secara hukum Pengusaha / Pemberi kerja wajib mempekerjakan kembali pekerja tersebut.
Proses Penyelesaian PHK didasarkan pada Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sebagai berikut :
- Tetap diawali dengan perundingan sebagai pemilihan utama dalam proses penyelesaian permasalahan yang terjadi antara para Pemberi Kerja dan Para Pekerja yang diwakili oleh serikat pekerja atau yang disebut Bipartit; (vide pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
- Apabila Bipartit tidak mampu menyelesaikannya, Para Pekerja dan atau Pengusaha dapat meminta bantuan kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat untuk melakukan pencatatan terhadap usaha Bipartit yang telah gagal, kemudian Para Pihak dapat memilih Mediator atau Konsiliasi; (vide Pasal pasal 4 ayat (1) dan (5) Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
- Apabila melakukan proses mediasi di Disnaker maka atas permohonan tersebut, Mediator akan melakukan pertemuan dengan para pihak kemudian membuat membuat anjuran tertulis yang tertuang dalam risalah Penyelesaian Permasalahan kepada Para Pihak; Vide pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 14 Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XIII/ 2015
- Apabila melakukan proses Konsiliasi di Disnaker maka atas permohonan tersebut, disnaker melakukan konsiliasi dan mengadakan perjanjian yang akan ditandatangani para pihak namun apabila tidak mencapai kata sepakat maka konsiliator akan membuat anjuran secara tertulis dalam risalah pengelesaian masalah kepada para pihak ; Vide pasal 23 ayat (1) dan (2), pasal 24 Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XIII/ 2015
- Apabila ternyata dua langkah diatas juga tidak mencapai sepakat maka para pihak dapat mengajukan Perselisihan ini ke Pengadilan Hubungan Industrial yang berada pada domisili perusahaan.
Sumber :
- Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan;
- Undang-undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XIII/ 2015
- Putusan MK No. 19/PUU-IX/2011 tanggal 20 Juni 2012
- Materi oleh Dr. Andari Yurikosari, S.H.,M.H Ketua Pusat Study Hubungan Industrial dan Perlindungan Tenaga Kerja Universitas Trisakti
- Materi Kebijakan Ketenagakerjaan dan Pengendalian Tenaga Kerja di JATIM oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Timur.